Berkaca pada Pemilu India

Melihat ramai dan kisruhnya hasil penghitungan suara Pemilu Indonesia 2009 dan membaca artikel di Kompas “Teknologi Informasi Kunci Demokrasi” 20 April 2009[1], saya lakukan riset kecil-kecilan untuk mempelajari Pemilu di negara sahabat, India – yang baru diadakan 16 April 2009 lalu.

Hasil riset kecil-kecilan ini adalah sebuah angka perbandingan, yang dari angka tersebut kita dapat berkaca dan melakukan benchmark untuk mencontoh hal-hal yang baik dan benar dari Pemilu di India – terutamanya dalam hal penerapan Teknologi Informasi.

Perbedaan yang paling mencolok dan menurut saya menjadi salah satu kunci kesuksesan sebuah pemilu adalah proses pemilihan (vote) oleh pemilih itu sendiri. Bisa dicoblos, dicontreng hingga yang paling canggih dengan alat entry elektronik (Electronic Voting Machine / EVM). Makin canggih cara pemilihan, logikanya akan makin cepat proses akhir penghitungan. Terdapat 3 cara pemilihan yang saya ketahui hingga saat ini, dimulai dari yang paling “primitif”: Dicontreng/dicoblos (Indonesia) – Offline EVM[2] (India) – Online EVM[2] (Amerika).

Tulisan pak Basuki Suhardiman (Sekretaris Tim IT KPU 2004) di Kompas 20 April 2009 tersebut menjelaskan bahwa proses yang dilakukan pada Pemilu 2009 mirip dengan Pemilu 2004:

Secara umum proses pada sistem 2009 hampir mirip dengan yang dilakukan tahun 2004. Prinsipnya, mengambil data per TPS dengan diadakannya formulir C1-IT yang kemudian dikirimkan ke kabupaten/kota.

Teknologi “agak canggih” yang dipakai pada Pemilu 2009 kali ini adalah proses pemindaian form C1-IT dari TPS dengan teknologi ICR (Intelligent Character Recognition). Yaitu sebuah teknologi pemindai (scan) yang dapat mengenali tulisan tangan manusia. Ternyata teknologi ICR-pun memberikan kontribusi waktu yang lumayan besar.

Di Kota Bandung, misalnya, ada sekitar 1,5 juta penduduk, dengan jumlah per pemilih per TPS rata-rata 300, maka akan ada 5.000 TPS untuk setiap formulir C1-IT yang harus dipindai, edit, dan simpan. Jika setiap formulir C1-IT membutuhkan lima menit, maka per jam dihasilkan 12 formulir, dan kalau dilakukan 24 jam nonstop hanya dihasilkan 144 formulir C1-IT per TPS per komputer.

Jika ada dua komputer, akan dihasilkan 288 TPS per hari. Sedangkan jumlah TPS mencapai lima ribu, dan untuk melengkapi semua hasil TPS akan dibutuhkan waktu 18 hari (kalau tidak terjadi persoalan teknis lainnya).

Indian Electronic Voting Machine

Adalah sebuah alat pemilih elektronik yang sudah digunakan India sejak pemilu 1982 (walaupun pada saat itu hanya digunakan pada 50 TPS saja)[3]. Pengembangan dan pembuatan alat ini dikerjakan oleh 2 perusahaan yang dimiliki oleh Departemen Pertahanan dengan menggunakan chip yang dibuat di Jepang. Dengan jumlah 1800 ribu-an TPS, saat ini India telah memiliki 1.368.430 buah EVM[4]. Pada pemilu 2004 untuk pertama kalinya seluruh TPS di India menggunakan teknologi EVM ini.

Alat ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: Control Unit dan Voting/Balloting Unit. Keduanya dihubungkan dengan kabel data sepanjang 5 meter. Setiap control unit dapat dihubungkan dengan maksimal 4 voting unit. Control unit digunakan oleh petugas pemilihan yang memiliki 3 tombol yaitu:

  1. Tombol Ballot, berfungsi untuk mengaktifkan tombol pemilihan pada voting unit dan memastikan pemilihan hanya dilakukan sekali. Fungsinya persis seperti jungkat-jungkit yang harus ditekan bergantian antara control unit dan voting unit.
  2. Tombol Total, berfungsi melihat total pemilihan di alat EVM.
  3. Tombol Close, berfungsi untuk menutup atau mengakhiri proses pemilihan.

Voting Unit adalah perangkat yang dipergunakan oleh pemilih. Alat ini terdiri dari 2 sisi, sisi kiri berisi nama dan lambang kandidat, dan sebelah kanan adalah tombol kandidat. Jumlah maksimal kandidat setiap voting unit adalah 16 kandidat atau maksimal 64 kandidat setiap satu control unit.

Mesin EVM yang dilengkapi dengan baterai 6V ini maksimal dapat menampung 3840 suara. 1 buah alat EVM (1 unit control unit, 1 unit voting unit dan 1 baterai) pada saat dibuat (sekitar 1989-1990) adalah Rs 5.550 atau sekitar Rp 1,2 juta (kurs 2009).

Pada gambar di bawah, di sisi kiri adalah control unit dan kanan adalah voting unit.

Indian Electronic Voting Machine

Untuk faktor keamanan EVM ini dilengkapi dengan chip yang tidak dapat dibuka (tamper) atau ditulis ulang tanpa harus merusaknya. Chip disegel sejak diimport dari Jepang. Baterai hanya digunakan pada saat alat digunakan saja, dan memori dapat menyimpan hingga 10 tahun.

Ketika pemilihan selesai alat ini dikirimkan ke pusat penghitungan suara. Ada satu tombol (disegel) yang langsung mengeluarkan hasil penghitungan suara. Hasil akhir perhitungan suara dapat diumumkan dalam waktu rata-rata 2-3 jam, dibandingkan 30-40 jam pemilihan dengan kertas (mencontreng/mencoblos)[3].

Baca disini untuk mengetahui lebih jelas bagaimana rakyat India menggunakan EVM pada pemilihan umumnya[5].

Pemilu 2009 India & Indonesia Dalam Angka

Tabel-1

PEMILU 2009

Penduduk (population)

Jumlah Provinsi (state)

Frekuensi Pemilu

Jumlah Pemilih (voter)

Jumlah TPS (polling station)

Cara Memilih

Indonesia 237.512.352 33 5 tahun 171.265.442 519.920 Mencontreng
India 1.147.995.904 35 5 tahun 714 juta 828,804 Offline EVM

Tabel-2 (lanjutan)

PEMILU 2009

Tahap Pemilihan & Penentuan Hasil

Biaya (Cost)

Biaya per pemilih

Indonesia Pemilihan: 9 April
Hasil
: 20 April
(max. 21 hari)
Rp 21,93 triliun Rp 128 ribu
India Pemilihan 5 fase: 16, (22-23), 30 April, 7,13 Mei
Hasil
: 16 Mei
(max. 32 hari)
176 juta
(Rp 2,5 triliun)
Rp 3.500

*Sumber angka-angka di atas dapat dilihat pada catatan kaki di bawah.

Fakta dan Kesimpulan

  1. Jumlah penduduk India adalah ke-2 terbesar di dunia yaitu sekitar 1,2 milyar, sedang Indonesia ada di urutan ke-4 (230 juta)[8].
  2. India adalah negara daratan[9], sementara Indonesia adalah kepulauan[10].
  3. Teknologi EVM digunakan di India sejak 1982, sementara baru pada 2009 Indonesia menggunakan teknologi ICR. Secara teknologi EVM lebih menjawab dan terbaik untuk pelaksanaan pemilu dibanding ICR. Selain itu EVM lebih baik dalam hal keakuratan dan kecepatan proses perhitungan.
  4. Tingkat kesalahan (invalid votes) pada pemilu India 2004 antara 0,01 – 0,44%. Beberapa provinsi dapat mencapai 0% (no invalid votes)[7].
  5. Dibutuhkan waktu 22 tahun (1982-2004) untuk menggunakan EVM di seluruh TPS di India.
  6. Dengan EVM biaya penyelenggaraan pemilu dapat ditekan. India yang hanya mengeluarkan biaya Rp 3.500 per pemilih, sedang Indonesia Rp 128.000 per pemilih.
  7. Dengan jumlah pemilih hampir 4 kali Indonesia, India hanya memerlukan maksimal 32 hari (dihitung sejak pemilihan/fase pertama) 16 April – 16 Mei (hari pengumuman hasil perhitungan). Di fase terakhir (ke-5) yang diadakan di 9 provinsi/state malah hanya butuh waktu 3 hari saja (13 – 16 Mei)[4].
    *Hingga tanggal 24 April 2009 – 24-04-2009 17:10:27 WIB (15 hari setelah pelaksanaan) data TPS yang masuk menurut website Pusat Tabulasi Pemilu Nasional[13] baru mencapai 74.598. Atau baru sekitar 14,4% total TPS.
  8. Pemilu dengan EVM jauh lebih “Hijau” atau menjadi sebuah “Green Election” dikarenakan berkurangnya penggunaan kertas.
  9. … dan masih banyak kesimpulan, hikmah dan pelajaran yang kita dapat dari pemanfaatan Teknologi Informasi Pemilu India.

Berkaca pada pemilu di India tentu ada beberapa hal yang mungkin tidak dapat dibandingkan apple-to-apple begitu saja dengan Indonesia. Namun untuk pemanfaatan teknologi informasi pemilu menggunakan EVM rasanya sudah tak ada alasan menundanya. Kita tak perlu menunggu waktu 22 tahun seperti di India untuk melaksanakan pemilu 100% dengan EVM. Kita dapat belajar gratis dari India. Negara ASEAN tetangga kita Philippines telah menyepakati dana US$235 juta (~Rp 2,5 triliun) untuk menggunakan EVM pada pemilu 2010 yang akan datang, dengan jumlah pemilih sekitar 40 juta[12]. Apa kita ingin tertinggal lagi?

Riset ini pasti jauh dari sempurna. Namun hati nurani terpanggil untuk dapat berbuat bagi negeri yang saya cintai ini.

Saya tak ingin Ibu Pertiwi menangis sepanjang hari…

Referensi:

15 thoughts on “Berkaca pada Pemilu India

  1. artikel yang baik sir.. btw asumsi pemindaian di Bandung di atas, mengingatkan saya pada argumen: satu gsm modem, bisa kirim 1 sms per detik. Berarti 1 menit 60 sms, dan per jam 3600 sms. Kalau saya pasang 5 GSM modem, berarti 18000.. Begitu dipasang, GSM pertama, ngirim 100 sms butuh 5 menit.. tambah lama tambah lelet… sesuatu yang buruk terjadi.. eyang murphy pernah ngingetin..

    Tentang EVM, bisa jalan jika kepercayaan terhadap petugas TPS sudah tinggi.. tapi layak untuk dicoba 🙂

  2. Ini menarik! Dan harusnya ndak ada kendala apapun untuk dicoba. Dari sisi biaya – lebih murah. Dari sisi teknis – lebih mudah baik untuk panitia dan pemilih (tinggal pencat pencet). Dari sisi akurasi apalagi. Belum lagi jumlah kertas yang bisa dihemat.

    Satu hal yang saya pelototi adalah jumlah uang yang bisa dihemat. Gede banget yak! Belum lagi kemudahan yang ditawarkan, “secara” tinggal pencat pencet tombol.

    Tapi kata pemerintah: “Hah? Lebih murah? Waduh jatah ane ilang donk… Lebih mudah? Budget sosialisasinya bakal kecil donk… Gak perlu cetak? Trus biaya cetak menurun? Gak perlu tender? Mmm..gimana ya…mm..” Kata mereka2 yg punya bisnis Quick Count: “Itung datanya cepat dan akurat? Jangan gitu laa.. bisnis owe terancam nie…”

    Cape dee… hehe…

    Tulisan keren Mas Bayu! Thanks! Gw copas sedikit2 trus linkback ke sini yaa…

  3. @om Sofyan: asumsi pak Basuki itu 2 komputer dan 2 scanner, ya bole laah hehehe. beda dng 5 modem GSM yg terhubung ke 1 komputer (server).
    soal percaya sama petugas TPS, ya percaya thd bangsa sendiri. sayangnya kepercayaan bangsa ini masih dlm tahap recovery. musti mau berubah dan sabar 😉

    @syauqie: sewaktu nulis gak kepikiran soal quick count. ya bisa bener bisa tidak. apa dng EVM apa masih ada relevansinya dng quick count. karena EVM ini sudah bicara kecepatan dan populasi, bukan sampling.
    mangga.. mangga kalo ingin dikomentari. utk memperkaya wawasan.
    ini ada referensi menarik dari Australia Barat yg telah melakukan analisa komparatif pemilu elektronik antara thn 2000-2005:

    Click to access Democracy.pdf

    KPU bisa tinggal comot saja hasil2 riset seperti ini 🙂

  4. wah… keren tulisannya

    tapi klo menurut saya, salah satu hambatan kiota knapa gak menggunakan EVM itu juga karena kultur masyarakat kita yang masih belum akrab dengan TI. dan kepercayaan mereka akan sistem2 canggih tersebut masih minim

    contoh, di gedung DPR sana sebenarnya sudah ada alat EVM itu. Namun, hampir sama skeali tidak pernah dipakai oleh para nggota dewa ketika hendak memutuskan sesuatu secara voting. mereka tetap memilih cara manual by paper. Alasannya karena tidak percaya sama sistemnya….

    1. Memang, mayoritas anggota DPR itu parah…
      Kalo memang mereka gak tahu sistem voting elektronik itu, mengapa mereka tak menguji alat/sistem tsb dahulu sblm bersikap?
      Jgn2 mereka bahkan tak tahu cara mengujinya…
      Or, mereka sebenarnya pengin bermain ‘culas’ dg sistem nulis di kertas itu… Bunyi tulisan di kertas = kode utk dpt uang dr ‘sponsor’.. 😀

  5. Saya meragukan EVM bisa diterapkan pada pemilu DPR 2009 yang baru lalu. Di pemilu DPR 2004, bisa (dengan syarat …), karena kita hanya memilih partai. Kelihatannya EVM yang ditampilkan di blog ini hanya bisa untuk memilih 1 partai. Tapi apakah bisa mengakomodasi cara pemilihan disini yang memilih 1 partai di level DPR, 1 di DPRD-1, 1 di DPRD-2, dan 1 nama di DPD?

    EVM itu juga bakal perlu tambahan tombol banyak untuk mengakomodasi Pemilu DPR 2009. Satu caleg perlu diwakili oleh satu tombol. Satu kertas suara memuat berapa banyak caleg? 40an x 10an? 400 tombol?

  6. *nambah*
    kesimpulan: blame DPR yang telah (membuat dan) meloloskan UU Pemilu yang implementasinya *sangat menyulitkan* karena kompleks.

    1. #andika: sudahlah, kalo salah menyalahkan nanti malah rame terus :-).
      tulisan ini hanya ingin memberi masukan: manfaatkanlah teknologi, dan ciptakanlah demokrasi yg mudah dan murah.
      betul, ternyata implementasi yg sulit malah membuat kita sengsara – alias terbukti tak sanggup.

  7. Saya setuju bahwa kita harus belajar dari berbagai negara tentang sistem pemilu yang dipakai; salah satunya mungkin untuk mencari best practise bagi pelaksanaannya di Indonesia. Segala sesuatu memang perlu dipersiapkan dengan baik, plan dan organisenya, acquire dan implementasinya, delivery dan servicenya serta monitoring dan evaluasinya. PR besar buat pakar IT Indonesia nih, mempersiapkan lembaga dan masyarakatnya agar siap dengan sistem seperti itu.

    Dalam pemanfaatan teknologi, sebagus apapun sistem, atau bahkan sesederhana apapun sistem yang dipakai, even hanya input manual, selama persiapan dan SDM nya tidak memadai, maka lupakan sajalah IT. YAKIN!!!!

    Untuk kasus sistem EVM India, apa yang disampaikan Pak Andika benar. Untuk Indonesia perlu modifikasi agar bisa diterapkan. Di Indonesia kita tidak hanya memilih partai, tetapi juga caleg di masing-masing level dan DPD, Akan banyak tombol yang diperlukan.

    Ayo pakar IT Indonesia bekerjasamalah, sistem IT Pemilu tidak hanya bisa dikerjakan oleh tim ahli IT KPU atau oleh BPPT saja, tetapi oleh seluruh elemen bangsa Indonesia, untuk kemajuan demokrasi yang efektif efisian, cepat, akurat dan transparan.

    1. Betul mas, uang dan teknologi bukan jawaban seandainya SDM tidak dipersiapkan. teknologi hanyalah fasilitator semata.

      Untuk masalah tombol, saya kira solusinya tak perlu sama dng India. Cukup kita siapkan list atau daftar caleg / capres di setiap bilik yg masing2 caleg/capres memiliki kode alphanumeric (mis: AB219, dlsb). Nah, di Voting Unit hanya perlu keypad huruf + angka (alphanumeric) saja.

  8. Pingback: Pemilih.com
  9. Saya setuju bahwa kita harus belajar dari berbagai negara tentang sistem pemilu yang dipakai; salah satunya mungkin untuk mencari best practise bagi pelaksanaannya di Indonesia. Segala sesuatu memang perlu dipersiapkan dengan baik, plan dan organisenya, acquire dan implementasinya, delivery dan servicenya serta monitoring dan evaluasinya. PR besar buat pakar IT Indonesia nih, mempersiapkan lembaga dan masyarakatnya agar siap dengan sistem seperti itu.
    +1

Leave a reply to ayah fathimah Cancel reply